يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (183) أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka jika di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. ( 2:183-184)

      Ringkasa Tafsir

Menurut Riwayat Rasulullah dan Para Sahabat sebelum mendapatkan perintah Puasa ramadhan beliau melakukan puasa Ramadhan 3 hari dalam setiap bula yaitu pada taggal 13,14 & 15  juga puasa setiap Tanggal 10 Bulan Asyura[1]
Allah menurunka Ayat ini setelah 18 Bulan Rasulullah di Madinah   Adapun Zakat Fitrah sendiri turun setelah perintah puasa dan sebelum perintah zakat Mal
Terkait Ayat Ke 83  : Diriwayatkan dari Mu’adz, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Atha’, Qatadah, dan adh-Dhahhak bin Muzahim, bahwa puasa itu pertama kali dijalankan seperti yang diwajibkan kepada umat-umat sebelumnya, yaitu tiga hari setiap bulannya. Ditambahkan oleh adh-Dhahhak, bahwa pelaksanaan puasa seperti ini masih tetap disyari’atkan pada permulaan Islam sejak Nabi Nuh as. sampai Allah menasakhnya dengan puasa Ramadhan.
Abu Ja’far ar-Razi meriwayatkan dari Ibnu Umar, katanya; Dengan diturunkannya ayat: kutiba ‘alaikumush shiyaamu kamaa kutiba ‘alal ladziina min qablikum (“Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang orang sebelummu,”) puasa itu diwajibkan kepada mereka, jika salah seorang di antara mereka mengerjakan shalat isya’ kemudian tidur, diharamkan baginya makan, minum, dan (menyetubuhi) istrinya sampai waktu malam lagi seperti itu.
Terkait Ayat ke 184 : Ibu Katsir Menjelaskan : Selanjutnya Allah Ta ala menjelaskan hukum puasa sebagaimana yang berlaku pada permulaan Islam. Dia berfirman: fa man kaana minkum mariidlan au ‘alaa safarin fa ‘iddatum min ayyaamin ukhara (“Barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan [lalu ia berbuka], maka [wajiblah baginya berpuasa] sebanyak hari yang ditinggalkan itu dari hari-hari yang lain.”) Artinya, orang yang sakit dan orang yang dalam perjalanan diperbolehkan untuk tidak berpuasa, karena hal itu merupakan kesulitan bagi mereka. Mereka boleh tidak berpuasa tetapi harus mengqadhanya pada hari-hari yang lain. Adapun orang yang sehat dan tidak berpergian tetapi merasa berat berpuasa, baginya ada dua pilihan; berpuasa atau memberikan makan. Jika mau ia boleh berpuasa, atau boleh juga berbuka, tetapi harus memberi makan kepada seorang miskin setiap harinya. Dan jika ia memberikan makan lebih dari seorang pada setiap harinya, maka yang demikian itu lebih baik. Dan berpuasa adalah lebih baik daripada memberi makan. Demikian menurut pendapat Ibnu Masud, Ibnu Abbas, Mujahid, Thawus, Muqatil bin Hayyan, dan ulama salaf lainnya.
Oleh karena itu Allah swt. berfirman: wa ‘alal ladziina yuthiiquunaHuu fidyatun tha’aamu miskiinin faman tathawwa’a khairan fa Huwa khairul laHu wa an tashuumuu khairul lakum in kuntum ta’lamuun (“Dan wajib bagi orang-orang yang merasa berat menjalankannya [jika mereka tidak berpuasa] untuk membayar fzdyah, [yaitu]: memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka yang demikian itu lebih baik baginya. Dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”)
Demikian pula yang diriwayatkan Imam al-Bukhari, dari Salamah bin Akwa katanya, ketika turun ayat: wa ‘alal ladziina yuthiiquunaHuu fidyatun tha’aamu miskiinin (“Dan bagi orang-orang yang merasa berat menjalankannya [jika mereka tidak berpuasa] membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.”) Ketika itu, bagi siapa yang hendak berbuka (tidak berpuasa), maka membayar fidyah, hingga turun ayat yang berikutnya dan manasakhnya.
Dan diriwayatkan dari Ubaidillah, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, bahwa hal tersebut sudah dinasakh.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Atha’, bahwa ia pernah mendengar Ibnu Abbas membaca ayat: wa ‘alal ladziina yuthiiquunaHuu fidyatun tha’aamu miskiinin (“Dan bagi orang yang merasa berat menjalankannya [jika mereka tidak berpuasa] membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.”) Kata Ibnu Abbas, “Ayat tersebut tidak dinasakh, karena yang dimaksudkan dalam ayat itu adalah orang tua laki-laki dan perempuan yang tidak mampu menjalankan ibadah puasa, maka ia harus memberikan makan setiap harinya seorang miskin.” Demikian pula diriwayatkan oleh beberapa periwayat dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas.
Kesimpulannya, bahwa nasakh itu tetap berlaku bagi orang sehat yang bermukim (tidak melakukan perjalanan) dengan kewajiban berpuasa baginya melalui ayat: faman syaHida minkumusy syaHra falsamumHu (“Barangsiapa di antara kamu hadir [di negeri tempat tinggalnya] pada bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa.”) Sedangkan orang tua renta yang tidak sanggup menjalankan ibadah puasa, maka diperbolehkan baginya berbuka [tidak berpuasa] dan tidak perlu menggadhanya, karena ia tidak akan mengalami lagi keadaan yang memungkinkannya untuk mengqadha puasa yang ditinggalkannya itu. Tetapi, apakah jika ia berbuka [tidak berpuasa] juga berkewajiban memberi makan setiap hari seorang miskin, jika ia kaya?
Zakat Mal

وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ
 dan orang-orang yang menunaikan zakat, (QS 23 : 4 )
Ringkasan Tafsir

Ayat-Ayat di atas turun pada fase Makkah  hal itu menunjukan sebenarnya zakat sudah ada sejak fase makkah namun belum di tentukan Nisab nya barulah ketika di madinah setelah pensyariatan zakat Fitrah pada bulan berikutnya di syariatkan zakat Mal dengan ketentuan Nisab nya.
Ibnu Katsir Berkata : Zakat di tetapkan dimadinah pada tahun ke 2 Hijriah  Tampaknya zakat  yang di tetapkan dimadinah merupakan zakat dengan nilai  dan jumlah kewajiban yang khusus, sedangkan zakat yang ada sebelum periode ini , yang di bicarakan di makkah merupakan kewajiban perseorangan semata.
Sayyid Sabiq Berkata : Zakat Pada permulaan islam diwajibkan secara mutlak , kewajiban zakat ini tidak dibatasi harta yang di wajibkan untuk dizakati dan ketentuan kadar zakatnya , semua itu di serahkan pada kesadaran dan kemurahan kaum muslimin , tapi mulai tahun ke 2 Hijriah –Menurut keterangan yang Mahsyur-ditetapkan besar dan jumlah setiap jenis harta serta di jelaskan secara terperinci.