“Latar Belakang Peperangan “
"Ketika kabilah Hawazin mendengar informasi tentang Rasulullah dan penaklukan Makkah yang dianugerahkan Allah kepada beliau, Malik bin Auf An-Nashri menyatukan mereka. Selain kabilah Hawazin yang bergabung kepada Malik bin Auf An-Nashri, seluruh penduduk kabilah Tsaqif juga bergabung kepadanya. Juga seluruh penduduk kabilah Nashr, kabilah Jusyam, Sa'ad bin Bakr, dan beberapa orang dari Bani Hilal kendati dalam jumlah yang sedikit. Dari Qais Ailan tidak ada yang menghadiri Perang Hunain kecuali orang-orang tersebut. Orang-orang kabilah Hawazin yang tidak menghadiri Perang Hunain ialah Ka'ab dan Kilab serta orang terkenal dari mereka. Di Bani Jusyam terdapat Duraid bin Ash-Shimmah. Ia orang sepuh, ide-idenya cemerlang, ahli perang, dan orang berpengalaman. Di kabilah Tsaqif terdapat dua tokoh mereka dari persekutuan, salah satunya ialah Qarib bin Al-Aswad bin Muattib. Di Bani Malik terdapat Dzu Al-Khimar yang tidak lain adalah Subay'i bin Al-Harits bin Malik dan saudaranya bernama Ahmar bin Al-Harits. Komando umum berada di tangan Malik bin Auf An-Nashri".
"Ketika Malik bin Auf An-Nashri telah bertekad bulat untuk berang-kat menyerang Rasulullah, ia berangkat bersama orang-orang lengkap dengan harta, istri, dan anak-anak mereka. Ketika ia tiba di lembah Authas (Sebuah lembah di wilayah Hawaaazin), orang-orang berkumpul di tempat Malik bin Auf An-Nashri, termasuk Duraid bin Ash-Shimmah yang ketika itu berada di dalam sekedup tak beratap. Ketika Duraid bin Ash-Shimmah turun dari sekedupnya, ia berkata, 'Kalian berhenti di lembah apa?' Orang-orang men-jawab, 'Di Lembah Authas'.
Duraid bin Ash-Shimmah berkata, 'Ini sebaik-baik tempat kuda. Tempatnya tidak berbukit dan berbatu dan tidak pula datar dan licin. Tapi, kenapa aku mendengar suara geram unta, suara ringkik keledai, tangis anak kecil, dan suara kambing?' Orang-orang menjawab, 'Malik bin Auf An-Nashri berangkat bersama orang-orang plus harta, istri-istri, dan anak-anak mereka'. Duraid bin Ash-Shimmah berkata, 'Mana Malik?' Malik bin Auf An-Nashri pun dipanggil.
Duraid bin Ash-Shimmah berkata, 'Hai Malik, sekarang engkau menjadi pemim-pin kaummu dan sesungguhnya hari itu (perang) akan terjadi dan setelah itu tidak ada lagi hari-hari lainnya. Tapi, kenapa aku mendengar suara geram unta, suara ringkik keledai, tangis anak kecil, dan suara kambing?' Malik bin Auf An-Nashri menjawab, 'Aku membawa orang-orang beri-kut harta, istri-istri, dan anak-anak mereka'.
Duraid bin Ash-Shimmah berkata, 'Kenapa begitu?' Malik bin Auf An-Nashri menjawab, 'Aku ingin menempatkan istri dan harta di belakang setiap orang dari mereka agar ia berperang membela mereka'. Duraid bin Ash-Shimmah menghar-dik keras Malik bin Auf An-Nashri, kemudian Duraid bin Ash-Shimmah berkata, 'Demi Allah, itu seperti pengembala kambing. Adakah sesuatu yang bisa menahan mundurnya orang yang lari dari medan perang? Jika engkau mau, sesungguhnya apabila kamu menang perang tiada yang ber-manfaat bagimu kecuali seseorang dengan pedang dan tombaknya. Jika kamu kalah, engkau akan dicaci-maki di hadapan keluarga dan hartamu'.
Duraid bin Ash-Shimmah berkata lagi, 'Apa yang dikerjakan kabilah Ka'ab dan kabilah Kilab?' Orang-orang menjawab, 'Tidak ada satu pun dari mereka yang ikut serta'. Duraid bin Ash-Shimmah berkata, 'Kekuatan dan keberanian telah hilang. Jika yang terjadi ialah kemenangan dan kejayaan, pasti tidak ada yang absen dari kabilah Ka'ab dan kabilah Kilab. Sungguh aku ingin kalian berbuat seperti kabilah Ka'ab dan kabilah Kilab. Siapa saja yang ikut serta di antara kalian?' Orang-orang menjawab, 'Amr bin Amir dan Auf bin Amir'.
Duraid bin Ash-Shimmah berkata, 'Dua orang lemah tersebut tidak bisa memberi manfaat dan mudharat. Hai Malik, engkau sedikit pun tidak mendekatkan rombongan Hawazin ke leher kuda. Tempatkan keluarga dan harta di tempat yang sulit dijangkau dan mudah dipertahankan, kemudian hadapi orang-orang yang keluar dari agama nenek moyang tersebut (kaum muslimin) dari atas punggung kuda. Jika kemenangan menjadi milikmu, maka orang-orang yang ada di belakangmu pasti menyusulmu. Jika engkau kalah, aku menemuimu di tempat tersebut dan sungguh engkau telah melindungi k-luarga dan hartamu'. Malik bin Auf An-Nashri berkata, 'Itu tidak akan aku kerjakan, hai Duraid bin Ash-Shimmah, engkau orang pikun dan akalmu juga telah lemah. Demi Allah, kalian harus taat kepadaku hai orang-orang kabilah Hawazin. Kalau tidak, aku akan bersandar di atas pedang ini hingga pedang ini keluar dari punggungku'. Malik bin Auf An-Nashri tidak ingin Duraid bin Ash-Shimmah mempunyai andil atau pendapat dalam masalah ini. Orang-orang kabilah Hawazin pun berkata, 'Kami taat kepadamu'.
Duraid bin Ash-Shimmah berkata, 'Aduh, aku hadir di peristiwa ini, namun aku tidak punya hak berpendapat di dalam-nya:
"Duhai seandainya di perang ini aku seorang pemuda
Maka menyelinap dan berjalan di dalamnya
Aku tuntun kuda yang berambut panjang dan rambutnya menjulur di kakinya
Seperti kambing muda."
"Setelah itu, Malik bin Auf An-Nashri berkata kepada anak buahnya, 'Jika kalian melihat mereka (kaum muslimin), patahkan sarung pedang kalian, kemudian bersatulah ibarat satu orang'."
"Ketika Malik bin Auf An-Nashri telah bertekad bulat untuk berang-kat menyerang Rasulullah, ia berangkat bersama orang-orang lengkap dengan harta, istri, dan anak-anak mereka. Ketika ia tiba di lembah Authas (Sebuah lembah di wilayah Hawaaazin), orang-orang berkumpul di tempat Malik bin Auf An-Nashri, termasuk Duraid bin Ash-Shimmah yang ketika itu berada di dalam sekedup tak beratap. Ketika Duraid bin Ash-Shimmah turun dari sekedupnya, ia berkata, 'Kalian berhenti di lembah apa?' Orang-orang men-jawab, 'Di Lembah Authas'.
Duraid bin Ash-Shimmah berkata, 'Ini sebaik-baik tempat kuda. Tempatnya tidak berbukit dan berbatu dan tidak pula datar dan licin. Tapi, kenapa aku mendengar suara geram unta, suara ringkik keledai, tangis anak kecil, dan suara kambing?' Orang-orang menjawab, 'Malik bin Auf An-Nashri berangkat bersama orang-orang plus harta, istri-istri, dan anak-anak mereka'. Duraid bin Ash-Shimmah berkata, 'Mana Malik?' Malik bin Auf An-Nashri pun dipanggil.
Duraid bin Ash-Shimmah berkata, 'Hai Malik, sekarang engkau menjadi pemim-pin kaummu dan sesungguhnya hari itu (perang) akan terjadi dan setelah itu tidak ada lagi hari-hari lainnya. Tapi, kenapa aku mendengar suara geram unta, suara ringkik keledai, tangis anak kecil, dan suara kambing?' Malik bin Auf An-Nashri menjawab, 'Aku membawa orang-orang beri-kut harta, istri-istri, dan anak-anak mereka'.
Duraid bin Ash-Shimmah berkata, 'Kenapa begitu?' Malik bin Auf An-Nashri menjawab, 'Aku ingin menempatkan istri dan harta di belakang setiap orang dari mereka agar ia berperang membela mereka'. Duraid bin Ash-Shimmah menghar-dik keras Malik bin Auf An-Nashri, kemudian Duraid bin Ash-Shimmah berkata, 'Demi Allah, itu seperti pengembala kambing. Adakah sesuatu yang bisa menahan mundurnya orang yang lari dari medan perang? Jika engkau mau, sesungguhnya apabila kamu menang perang tiada yang ber-manfaat bagimu kecuali seseorang dengan pedang dan tombaknya. Jika kamu kalah, engkau akan dicaci-maki di hadapan keluarga dan hartamu'.
Duraid bin Ash-Shimmah berkata lagi, 'Apa yang dikerjakan kabilah Ka'ab dan kabilah Kilab?' Orang-orang menjawab, 'Tidak ada satu pun dari mereka yang ikut serta'. Duraid bin Ash-Shimmah berkata, 'Kekuatan dan keberanian telah hilang. Jika yang terjadi ialah kemenangan dan kejayaan, pasti tidak ada yang absen dari kabilah Ka'ab dan kabilah Kilab. Sungguh aku ingin kalian berbuat seperti kabilah Ka'ab dan kabilah Kilab. Siapa saja yang ikut serta di antara kalian?' Orang-orang menjawab, 'Amr bin Amir dan Auf bin Amir'.
Duraid bin Ash-Shimmah berkata, 'Dua orang lemah tersebut tidak bisa memberi manfaat dan mudharat. Hai Malik, engkau sedikit pun tidak mendekatkan rombongan Hawazin ke leher kuda. Tempatkan keluarga dan harta di tempat yang sulit dijangkau dan mudah dipertahankan, kemudian hadapi orang-orang yang keluar dari agama nenek moyang tersebut (kaum muslimin) dari atas punggung kuda. Jika kemenangan menjadi milikmu, maka orang-orang yang ada di belakangmu pasti menyusulmu. Jika engkau kalah, aku menemuimu di tempat tersebut dan sungguh engkau telah melindungi k-luarga dan hartamu'. Malik bin Auf An-Nashri berkata, 'Itu tidak akan aku kerjakan, hai Duraid bin Ash-Shimmah, engkau orang pikun dan akalmu juga telah lemah. Demi Allah, kalian harus taat kepadaku hai orang-orang kabilah Hawazin. Kalau tidak, aku akan bersandar di atas pedang ini hingga pedang ini keluar dari punggungku'. Malik bin Auf An-Nashri tidak ingin Duraid bin Ash-Shimmah mempunyai andil atau pendapat dalam masalah ini. Orang-orang kabilah Hawazin pun berkata, 'Kami taat kepadamu'.
Duraid bin Ash-Shimmah berkata, 'Aduh, aku hadir di peristiwa ini, namun aku tidak punya hak berpendapat di dalam-nya:
"Duhai seandainya di perang ini aku seorang pemuda
Maka menyelinap dan berjalan di dalamnya
Aku tuntun kuda yang berambut panjang dan rambutnya menjulur di kakinya
Seperti kambing muda."
"Setelah itu, Malik bin Auf An-Nashri berkata kepada anak buahnya, 'Jika kalian melihat mereka (kaum muslimin), patahkan sarung pedang kalian, kemudian bersatulah ibarat satu orang'."
Pengiriman Intelijen & Keberangkatan Rasul_Rasulullah saw. Meninggalkan Mekah Menuju Hunain.
"Ketika Rasulullah mendengar informasi tentang Malik bin Auf An-Nashri dan anak buahnya, beliau mengirim Abdullah bin Abu Hadrad Al-Aslami dan memerintahkannya menyelinap ke tempat mereka dan berada di tempat mereka untuk mengetahui seluk-beluk mereka, kemudian datang kembali kepada beliau dengan membawa informasi tentang mereka. Abdullah bin Abu Hadrad berangkat, menyelinap ke tempat mereka, dan berada di tempat mereka hingga mendengar dan mengetahui bahwa orang-orang kabilah Hawazin telah sepakat dengan Malik bin Auf An-Nashri untuk memerangi beliau. Ia juga mendengar ucapan Malik bin Auf An-Nashri dan kondisi terakhir orang-orang kabilah Hawazin. Sete-lah mendapatkan informasi itu semua, Abdullah bin Abu Hadrad pulang menemui Rasulullah, dan melaporkan kepada beliau informasi yang ia terima.
Pada hari Sabtu, 6 Syawal 8 H, Rasulullah saw. meninggalkan kota Mekah, membawa 12.000 balatentara kaum muslimin. Sepuluh ribu di antaranya terdiri atas mereka yang sejak semula dibawa beliau berangkat dari Madinah untuk membebaskan kota Mekah, sedangkan yang dua ribu berasal dari penduduk Mekah, yang kebanyakan baru masuk Islam.
Pada hari Sabtu, 6 Syawal 8 H, Rasulullah saw. meninggalkan kota Mekah, membawa 12.000 balatentara kaum muslimin. Sepuluh ribu di antaranya terdiri atas mereka yang sejak semula dibawa beliau berangkat dari Madinah untuk membebaskan kota Mekah, sedangkan yang dua ribu berasal dari penduduk Mekah, yang kebanyakan baru masuk Islam.
Di waktu itu, Rasulullah saw. meminjam seratus stel baju perang berikut peralatannya kepada Shafwan bin Umaiyah -ketika itu masih musyrik- dan bersabda, 'Hai Abu Umaiyah, pinjami kami senjatamu untuk menghadapi musuh kami besok pagi'. Shafwan bin Umaiyah berkata, 'Apakah ini perampasan, hai Muhammad?' Rasulullah bersabda, 'Tidak, namun pinjaman yang diberi jaminan dan akan aku kembalikan kepadamu'. Shafwan bin Umaiyah berkata, 'Kalau begitu, tidak apa-apa'. Shafwan bin Umaiyah pun memberikan seratus baju besi pelindung diri dari senjata miliknya kepada Rasulullah. Ada yang mengatakan bahwa Rasulullah meminta Shafwan bin Umaiyah membantu kaum muslimin dengan membawa baju besi tersebut dan ia pun menyetujuinya". . Untuk menjaga kota Mekah, beliau mengangkat Attab bin Asid menjadi gubenurnya.
Memang bisa dimengerti, terhimpunnya manusia yang demikian banyaknya itu benar-benar berpengaruh juga terhadap urat saraf kaum muslimin, yang membuat mereka terpedaya, sehingga seseorang berkata, "Hari ini, kita takkan kalah karena sedikit".
"Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai orang-orang mu'minin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu ketika kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dan bercerai-berai". (QS. 9:25)
Di waktu itu, ada pula sebagian balatentara kaum muslimin yang setelah melihat betapa banyaknya jumlah mereka, mereka mengatakan, "Hari ini, kita takkan terklahkan". Rasulullah saw. sangat sedih mendengar semua perkataan itu.
Kisah Dzatu Anwath
Al-Harits bin Malik berkata, "Kami berangkat bersama Rasulullah ke Hunain -ketika itu kami baru saja masuk Islam-. Ya, kami berangkat bersama beliau ke Hunain. Orang-orang kafir Quraisy dan orang-orang Arab di sekitar mereka mempunyai pohon besar berwarna hijau bernama Dzatu Anwath. Mereka datang ke pohon tersebut dalam setiap tahun kemudian menggantungkan senjata di atasnya, menyembelih hewan kurban di sekitarnya, dan menetap seharian di dalamnya. Ketika kami sedang berjalan bersama Rasulullah, tiba-tiba kami melihat pohon ber-warna hijau dan besar. Kami saling berseru dari samping jalan, 'Wahai Rasulullah, buatkan untuk kami pohon Dzatu Anwath seperti mereka'. Rasulullah bersabda, 'Allahu Akbar, demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tanganNya, sungguh kalian telah berkata seperti yang pernah diucapkan kaum Nabi Musa kepada Nabi Musa, 'Buatkan untuk kami Tuhan sebagaimana mereka mempunyai Tuhan-Tuhan'. Nabi Musa men-jawab, 'Sesungguhnya kalian adalah kaum yang bodoh'. Sesungguhnya pohon Dzatu Anwath adalah salah satu tradisi dan sungguh kalian akan mengerjakan tradisi-tradisi orang-orang sebelum kalian'."
serangan Mendadak Balatentara Islam Disambut Hujan Anak Panah dari Pihak Musuh
Balatentara kaum muslimin sampai di Hunain pada malam Selasa, 10 Syawal. Agaknya, Malik bin Auf, pemimpin kaum Tsaqif itu, telah mendahului kaum muslimin ke tempat itu. Dia telah membawa balatentaranya masuk ke lembah itu pada malam sebelumnya, lalu dia sebarkan anak buahnya untuk mengintai di sepanjang jalan di berbagai kelokan, celah-celah bukit, tempat-tempat tersembunyi, dan jalan-jalan yang sempit. Dia perintahkan pula para pengintai itu supaya menyerang kaum muslimin secara serentak begitu barisan mereka yang pertama muncul, dan mendesaknya secara serempak. Sewaktu kaum muslimin tengah menuruni lembah, tiba-tiba mereka dihujani anak panah yang sedemikian gencarnya. Sejurus kemudian, pasukan-pasukan musuh telah mengepung mereka secara serempak. Akhirnya, kaum muslimin pun berbalik mundur. Mereka lari berhamburan, tidak peduli satu sama lain.
Jabir bin Abdullah, berkata, "Ketika kami berjalan ke arah Hunain, kami turun di salah satu lembah Tihamah yang luas dan kami seharusnya turun dengan pelan-pelan, namun kami turun dengan buru-buru. Itu terjadi di tengah malam yang gelap gulita, di sisi lain, orang-orang kabilah Hawazin mendahului kami tiba di lembah tersebut, kemudian mereka bersembunyi dari penglihatan kami di salah satu jalan di sana dan di tempat rahasia. Sungguh mereka bertekad bulat dan siap. Demi Allah, tidak ada yang menakutkan kami ketika kami turun melainkan batalion-batalion mereka yang menyerang kami dengan kompak ibarat serangan satu orang. Kami lari kocar-kacir tak seorang pun yang menoleh kepada orang lain.
Melihat situasi seperti itu, Rasulullah saw. menepi ke sebelah kanan seraya berseru, Kemarilah, hai manusia. Akulah Rasulullah. Aku Muhammad bin Abdullah".
Akan tetapi, panggilan Rasulullah saw. itu tidak mereka pedulikan. Semuanya lari, tinggal beberapa orang saja yang tetap bertahan di dekat Rasulullah. Mereka terdiri dari kaum Muhajirin dan Ahli bait beliau. Di saat itu, tampaklah keberanian Rasulullah saw. yang tiada tara bandingannya. Saat itu, beliau memacu baghal yang dikendarainya kencang-kencang ke arah musuh seraya berseru, "Akulah Nabi, tidak kadzib. Aku putra Abdul Muthalib!" Selanjutnya, Rasulullah saw. pun turun, lalu memohon pertolongan kepada Rabbnya seraya berdoa, "Ya Allah, turunkanlah pertolongan-Mu".
Kaum Muslimin Berhimpun Kembali & Menghalau Musuh
Selanjutnya, Rasulullah saw. menyuruh pamannya, Abbas ra., berseru memanggil para sahabat beliau. Abbas adalah seorang yang memiliki suara lantang.
Al-Abbas bin Abdul Muththalib, berkata, "Aku bersama Rasulullah memegang tali kekang Baghlah (keledai) beliau yang berwarna putih. Aku letakkan tali kekang baghlah tersebut di antara dagunya. Aku berbadan besar dan bersuara keras. Rasulullah bersabda ketika melihat orang-orang lari dari medan perang, 'Mana orang-orang?' Aku lihat orang-orang tidak menoleh kepada sesuatu apa pun. Untuk itu, Rasulullah bersabda, 'Hai Abbas, berteriaklah, 'Hai sekalian orang-orang Anshar, hai seluruh orang-orang pemilik Samurah (majlis orang-orang mengobrol). 'Mereka menjawab, 'Ya, kami sambut panggilanmu'. Seseorang pergi untuk membelokkan untanya, namun tidak mampu. Kemudian ia mengambil baju besinya dan melemparkannya ke unta miliknya. Ia mengambil pedang, tameng, dan berjalan tanpa mengendarai untanya menuju suaraku hingga ia tiba di tempat Rasulullah.
Ketika seratus orang telah berkumpul di tempat Rasulullah, maka ke seratus orang tersebut maju menghadapi musuh dan bertempur melawan mereka. Panggilan pertama yang dikumandangkan ialah, 'Hai orang-orang Anshar, 'Kemudian diringkas lagi menjadi, 'Hai orang-orang Al-Khazraj'. Orang-orang Al-Khazraj (Anshar) adalah orang-orang sabar dalam peperangan. Rasulullah melihat medan perang di atas hewan kendaraannya ketika kedua belah pihak saling bertempur, kemudian bersab-da, 'Sekarang perang telah berkecamuk'."
Ketika seratus orang telah berkumpul di tempat Rasulullah, maka ke seratus orang tersebut maju menghadapi musuh dan bertempur melawan mereka. Panggilan pertama yang dikumandangkan ialah, 'Hai orang-orang Anshar, 'Kemudian diringkas lagi menjadi, 'Hai orang-orang Al-Khazraj'. Orang-orang Al-Khazraj (Anshar) adalah orang-orang sabar dalam peperangan. Rasulullah melihat medan perang di atas hewan kendaraannya ketika kedua belah pihak saling bertempur, kemudian bersab-da, 'Sekarang perang telah berkecamuk'."
Jabir bin Abdullah, berkata, "Ketika seorang dari kabilah Hawazin pemegang bendera perang sedang di atas untanya berbuat sesuatu, tiba-tiba Ali bin Abu Thalib RA dan seseorang dari Anshar bergerak kepadanya. Ali bin Abu Thalib datang ke tempat pemegang bendera perang kabilah Hawazin tersebut dari belakang kemudian menyabet dua urat tumit untanya dan ia pun jatuh tersungkur ketika itu juga dari untanya. Pada saat yang sama, sahabat dari kaum Anshar melompat ke pemegang bendera kabilah Hawazin tersebut kemudian memukulnya hingga setengah betisnya ke bawah terputus. Pemegang bendera kabilah Hawazin tersebut pun tumbang tidak berdaya. Kedua belah pihak tetap bertempur. Demi Allah, orang-orang tidak mundur dari kekalahan mereka, melain-kan mereka melihat para tawanan dalam keadaan terikat berada di samping Rasulullah.
Rasulullah menoleh ke arah Abu Sofyan bin Al-Harits bin Abdul Muththalib -ia termasuk orang yang bersabar bersama beliau di perang tersebut, ke-Islamannya baik ketika masuk Islam, dan memegang tali belakang pelana baghlah beliau-, 'Siapa orang ini?'. Abu Sofyan bin Al-Harits bin Abdul Muththalib menjawab, 'Aku anak pamanmu, wahai Rasulullah'."
Abdullah bin Abu Bakr berkata: "Bahwa Rasulullah menoleh, kemudian melihat Ummu Sulaim binti Milhan yang ketika itu ikut perang bersama suaminya, Abu Thalhah. Ummu Sulaim mengikat pinggangnya dengan kain burdahnya, kerena sedang mengandung Abdullah bin Abu Thalhah, dan menaiki unta milik Abu Thalhah. Ia khawatir terlempar dari untanya, untuk itu, ia mendekatkan kepala unta kepadanya dan memasukkan tangannya ke gelang di sisi hidung unta. Rasulullah bersabda kepada Ummu Sulaim, 'Hai Ummu Sulaim'. Ummu Sulaim berkata, 'Ayah-ibu-ku menjadi tebusanmu wahai Rasulullah. Aku akan bunuh mereka yang melarikan diri darimu sebagaimana engkau membunuh orang-orang yang memerangimu, karena mereka layak mendapatkannya'. Rasulullah bersabda, 'Cukuplah Allah yang akan menghukum mereka wahai Ummu Sulaim?'
Ketika itu, Ummu Sulaim membawa pisau. Abu Thalhah berkata kepada Ummu Sulaim, 'Kenapa engkau membawa pisau seperti ini, hai Ummu Sulaim?' Ummu Sulaim menjawab, 'Pisau ini sengaja aku bawa. Jika salah seorang dari kaum musyrikin mendekat kepadaku, aku akan menikamnya dengan pisau ini'. Abu Thalhah berkata, 'Wahai Rasulullah, tidakkah engkau dengar apa yang dikatakan Ummu Sulaim Ar-Rumaisha'?'."
Abu Qatadah berkata, "Di Perang Hunain, aku melihat dua orang; muslim dan kafir, sedang bertempur. Tiba-tiba salah seorang dari kaum musyrikin ingin membantu temannya yang musyrik tersebut dalam menghadapi lawannya yang muslim. Aku datangi orang tersebut kemudian aku tebas tangannya hingga terputus. Ia merangkulku dengan tangan kirinya. Demi Allah, ia tidak membiarkanku hingga aku mencium aroma darah (menurut Ibnu Hisyam, aroma kematian) dan ia nyaris membunuhku. Jika ia tidak kehabisan darah, ia pasti membunuhku. Ia jatuh, kemudian aku menyerangnya lagi dan menewaskannya. Perang membuatku menjauh dari orang tersebut, tiba-tiba seseorang dari warga Makkah melewati orang tersebut kemudian mengambil salab (barang) pada orang tersebut. Ketika perang usai dan kami berhasil mengatasi musuh, Rasulullah bersabda, 'Barangsiapa membunuh salah seorang korban, ia berhak atas harta yang ditinggalkan korban tersebut'. Aku berkata, 'Wahai Rasulullah, demi Allah, aku membunuh salah seorang musuh yang meninggalkan harta, kemudian perang membuatku menjauh darinya, jadi, aku tidak tahu siapa yang mengambil harta itu. Seseorang dari warga Makkah berkata, 'Ia (Abu Qatadah) berkata benar, wahai Rasulullah. Harta orang yang ia bunuh ada padaku. Mintalah ia (Abu Qatadah) merelakan Salab tersebut untuk aku miliki'. Abu Bakar Ash-Shiddiq RA berkata kepada orang Makkah tersebut, 'Tidak, Allah tidak meridhai hal ini. Engkau sengaja mendekat kepada salah seorang singa Allah yang berperang karena Allah dengan tujuan bisa berbagi Ghanimah dengannya. Kembalikan Ghanimah kepada pemiliknya'. Rasulullah bersabda kepada warga Makkah tersebut, 'Abu Bakar berkata benar, kembalikan Ghanimah tersebut kepada pemiliknya'. Aku pun mengambil Ghanimah dari warga Makkah tersebut, kemudian menjualnya. Dari hasil penjualannya aku membeli kebun kurma dan itulah kekayaan pertama yang aku miliki".
Ibnu Ishaq berkata, "Ketika orang-orang kabilah Hawazin takluk, korban banyak sekali di pihak Tsaqif tepatnya di Bani Malik, tujuh puluh orang dari mereka terbunuh di bawah bendera perang mereka, termasuk di dalamnya Utsman bin Abdullah bin Rabi'ah bin Al-Harits bin Habib. Tadinya bendera perang mereka dipegang Dzu Al-Khimar. Ketika Dzu Al-Khimar tewas, bendera perang tersebut diambil alih Utsman bin Abdullah yang kemudian bertempur dengan bendera perang tersebut hingga terbunuh".
"Ketika orang-orang musyrikin kalah di Perang Hunain, mereka pergi ke Thaif bersama Malik bin Auf An-Nashri, sebagian dari mereka bermarkas di Lembah Authas, sebagian dari mereka pergi ke Nakhlah, dan yang pergi ke Nakhlah hanyalah Bani Ghiyarah dan Tsaqif. Pasukan berkuda Rasulullah membuntuti orang-orang yang melintasi Nakhlah dan tidak membuntuti orang-orang yang melewati Ats-Tsunaya."
"Rasulullah menyuruh Abu Amir Al-Asy'ri menelusuri jejak-jejak orang-orang musyrikin yang pergi ke arah Lembah Authas, kemudian Abu Amir Al-Asy'ari menemukan sebagian orang-orang musyrikin yang kalah tersebut, kemudian perang terjadi antara kedua belah pihak. Pada perang tersebut, Abu Amir Al-Asy'ari terkena lemparan panah hingga gugur, kemudian bendera perang diambil alih Abu Musa Al-Asy'ari yang tidak lain adalah anak paman Abu Amir Al-Asy'ari. Abu Musa Al-Asy'ari bertempur melawan orang-orang musyrikin hingga Allah memberikan kemenangan kepadanya dan memukul mundur orang-orang musyrikin tersebut.
"Ketika orang-orang kabilah Hawazin menderita kekalahan, Malik bin Auf An-Nashri pergi kemudian berhenti di tengah-tengah para pasukan berkuda kaumnya di jalan sempit di satu gunung. Ia berkata kepada anak buahnya, 'Berhentilah hingga orang-orang lemah kalian bisa berjalan di depan dan teman-teman kalian di belakang bisa menyusul'. Di jalan sempit tersebut, Malik bin Auf An-Nashri dan anak buahnya ber-henti hingga orang-orang musyrikin yang kalah bisa menyusul mereka.
Rasulullah berjalan melewati wanita yang dibunuh Khalid bin Walid dan orang-orang mengerumuninya. Beliau bersabda, "Apa yang terjadi?" Orang-orang menjawab, "Mayat wanita yang dibunuh Khalid bin Walid". Rasulullah bersabda kepada salah seorang sahabat yang bersama beliau, "Cari Khalid dan katakan kepadanya bahwa Rasulullah melarangmu membunuh anak, wanita, dan orang sewaan".
Rasulullah bersabda ketika itu, "Jika kalian berhasil menangkap Bijad, seorang lelaki dari Bani Sa'ad bin Bakr, jangan biarkan dia lolos dari kalian". Sebelumnya, Bijad mengerjakan kejahatan. Ketika kaum muslimin berhasil menangkapnya, mereka menggiringnya bersama ke-luarganya, termasuk Syaima' binti Al-Harits bin Abdul Uzza yang tidak lain adalah saudara perempuan sesusuan Rasulullah. Kaum muslimin bersikap kasar terhadap Syaima' binti Al-Harits, untuk itu, Syaima' binti Al-Harits berkata kepada kaum muslimin, "Ketahuilah, aku adalah saudara perempuan sesusuan sahabat kalian (Rasulullah SAW)". Kaum muslimin tidak mempercayai ucapan Syaima' tersebut hingga membawa Syaima' ke tempat Rasulullah".
Ketika kaum muslimin tiba di tempat Rasulullah dengan membawa Syaima', maka Syaima' binti Al-Harits berkata kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, aku saudara perempuan sesusuanmu". Rasulullah bersabda, "Apa tandanya?".
Syaima binti Al-Harits berkata, "Bekas gigitan. Engkau pernah menggigit punggungku ketika aku menggendongmu". Rasulullah mengenali bukti tersebut, kemudian beliau membentangkan kain burdahnya untuk Syaima binti Al-Harits, menyuruhnya duduk di atas kain burdah tersebut, dan mengajukan beberapa tawaran kepadanya. Rasulullah bersabda kepada Syaima' binti Al-Harits, "Jika engkau mau tinggal bersamaku, engkau dicintai dan dimuliakan. Namun jika engkau ingin aku memberimu sesuatu dan engkau pulang kepada kaummu, itu akan aku lakukan". Syaima binti Al-Harits berkata, "Aku ingin engkau memberikan sesuatu kepadaku dan memulangkanku kepada kaumku". Rasulullah memberikan sesuatu kepada Syaima' binti Al-Harits dan memulangkannya kepada kaumnya. Bani Sa'ad mengklaim bahwa Rasulullah memberi Syaima' binti Al-Harits budak laki-laki bernama Makhul dan budak wanita, kemudian keduanya menikah dan anak keturunan keduanya masih ada pada mereka hingga sekarang".
Pengumpulan Harta Rampasan Perang
Harta rampasan Perang Hunain terdiri atas: 3.000 orang tawanan, 24.000 ekor unta dan kambing lebih dari 40.000 ekor, serta 4.000 uqiyah uang perak.
Rampasan perang sebanyak itu diangkut ke Ji'ranah, lalu Rasulullah saw. menyuruh agar semuanya dikumpulkan dan ditahan dulu, tidak dibagi, dan diserahkan kepada Mas'ud bin Amr al-Ghifari untuk menjaganya, sampai usainya Perang Thaif.
Di antara tawanan itu ada seorang wanita bernama Syaima' binti Harits as-Sa'diyah. Dia adalah saudara perempuan Rasulullah saw. sesusuan. Ketika dia dibawa ke hadapan beliau, dia memperkenalkan dirinya dan beliau pun dapat mengenalinya dari adanya suatu tanda. Beliau lalu memuliakan wanita itu, bahkan beliau menggelar serbannya dan menyuruh wanita itu duduk di atasnya. Selanjutnya, ia dimerdekakan dan dikembalikan kepada kaumnya.
Ibnu Ishaq berkata: "Setelah itu, seluruh para tawanan dan harta rampasan dari Perang Hunain diserahkan kepada Rasulullah. Harta rampasan tersebut dijaga Mas'ud bin Amr Al-Ghifari. Rasulullah memerintahkan para tawanan dan harta rampasan di bawa ke Al-Ji'ranah untuk disimpan di sana".
0 Komentar