Setibanya Rasulullah saw. di Madinah, ada seorang lelaki bernama Abu Bashir (Uthbah bin Usaid) datang kepada beliau. Dia tergolong orang-orang mukmin yang terpenjara di Mekah. Setelah Abu Bashir menemui Rasulullah saw., Azhar bin Abdi Auf dan al-Akhnas bin Syariq berkirim surat mengenai dirinya (kepada Rasulullah saw.) yang dibawa oleh Khunais bin Jabir, seorang dari Bani Amir, ditemani seorang bekas budaknya bernama Kautsar. Dalam surat itu, mereka berdua mengingatkan Rasulullah saw. tentang perjanjian damai itu dan agar Abu Bashir dikembalikan kepada mereka.

Kedua kurir itu tiba di Madinah tiga hari setelah kedatangan Abu Bashir. Surat mereka lalu dibacakan kepada Rasulullah saw. oleh Ubay bin Ka'ab dan ternyata isinya, " Sesungguhnya, kamu telah tahu persyaratan apa yang telah kita sepakati bersama, dan telah kita persaksikan antara kami dan kamu, yaitu agar dikembalikan siapa pun yang datang kepadamu dari orang-orang kami. Karena itu, kirimlah kepada kami orang kami itu."
Rasulullah saw. pun menyuruh Abu Bashir kembali ke Mekah dan menyerahkannya kepada kedua delegasi Quraisy tersebut.

"Ya Rasulullah, "kata Abu Bashir, "tegakah engkau mengembalikan aku kepada orang-orang musyrik yang akan menerorku mengenai agamaku?" "Hai Abu Bashir", sabda Rasulullah saw., "Sesungguhnya kita benar-benar telah berjanji kepada kaum Quraisy itu sebagaimana kamu tahu dan tidak patut bagi kita, menurut agama kita, berlaku curang. Sesungguhnya, Allah pasti akan memberi kepadamu dan kepada orang-orang sepertimu cara penyelesaian dan jalan keluar". "Ya Rasulullah", kata Abu Bashir, dia masih juga bertanya kepada beliau, "Benarkah engkau hendak mengembalikan aku kepada orang-orang musyrik itu?"  Rasulullah saw. tegas mengatakan, "Berangkatlah, hai Abu Bashir, karena Allah sungguh akan memberimu jalan keluar!"

Abu Bashir pun menurut. Dia berangkat meninggalkan Madinah bersama kedua pembawa surat tersebut. Sesampainya mereka bertiga di Dzulhulaifah, Abu Bashir duduk bersandar ke sebuah tembok, ditemani kedua pengiringnya itu. Abu Bashir bertanya, "Apakah pedangmu ini tajam, hai saudara dari Bani Amir?"  "Benar," jawab yang ditanya, Khunais bin Jabir al-Amiri.  "Tunjukkan kepadaku, biarku periksa," kata Abu Bashir pula.  "Lihatlah jika kamu mau", kata Khunais mempersilahkan.  Pedang itu pun dicabut oleh Abu Bashir, kemudian diangkat tinggi-tinggi dan dihunjamkannya kepada Khunais sampai menemui ajalnya.

Melihat itu, bekas budaknya, Kautsar, cepat-cepat lari meninggalkannya menuju Rasulullah saw. Di waktu itu, beliau tengah duduk di masjid. Ketika beliau melihatnya dari jauh, beliau bersabda, "Sesungguhnya, orang ini (lari) ketakutan".  "Celaka! Ada apa denganmu?" Tanya Rasulullah saw., sesampainya Kautsar di hadapan beliau.

Kautsar melaporkan, "Sahabatmu telah membunuh temanku". Demi Allah, belum juga Kautsar menyelesaikan laporannya, tiba-tiba Abu Bashir telah muncul dengan pedang terhunus dan sampailah dia di hadapan Rasulullah saw. Dia lalu berkata, "Ya Rasulullah, kiranya jaminanmu telah tertunaikan dan Allah telah melaksanakan kata-katamu. Engkau telah menyerahkan aku ke tangan orang-orang itu, tetapi aku tetap mempertahankan agamaku, jangan sampai aku diteror mengenai agamaku atau pun dilecehkan".

Rasulullah saw. bersabda, "Celaka ibunya. Dia (Abu Bashir) bisa mengobarkan peperangan andaikan didukung beberapa orang". Sesudah itu, Abu Bashir menyerahkan barang-barang yang dirampasnya dari Khunais al-Amiri, kendaraan dan pedangnya, agar diambil seperlimanya oleh Rasulullah saw. Akan tetapi, beliau bersabda, "Sungguh, jika aku ambil seperlimanya, mereka akan memandangku tidak menunaikan janjiku kepada mereka. Terserah kepadamulah apa yang telah kamu rampas dari korbanmu itu". Beliau bersabda pula kepada Kautsar, "Kamu akan membawa dia (Abu Bashir) pulang kepada teman-temanmu?"  "Ya Muhammad", kata Kautsar, "Aku tak punya kekuatan maupun kesanggupan untuk membawanya".

Mendengar keberatan Kautsar, Rasulullah saw. bersabda kepada Abu Bashir, "Pergilah kamu kemana saja yang kamu suka". Akhirnya, keluarlah Abu Bashir meninggalkan Madinah, hingga sampailah dia di suatu wilayah bernama al-Ish. Dia singgah di sana di suatu tempat di pinggir laut, yakni di tepi jalan yang biasa dilalui kafilah dagang kaum Quraisy menuju Syam.

Saat keluar dari Madinah, Abu Bashir hanya berbekal buah kurma sepenuh telapak tangannya, yang habis dia makan selama tiga hari, dan selanjutnya kebutuhan makannya dia penuhi dengan memakan ikan yang terlempar dari laut ke pantai.

Tak lama sesudah itu, berita tentang larinya Abu Bashir ke pantai itu sampai juga kepada kaum muslimin yang terpenjara di Mekah. Mereka lalu mencari-cari kesempatan untuk melarikan diri lalu bergabung dengannya. Agaknya Umar Ibnul Khattab ra. lah yang telah berkirim surat kepada mereka berisikan sabda Rasulullah saw. kepada Abu Bashir, "Celaka ibunya. Dia bisa mengobarkan peperangan andaikan didukung beberapa orang", dan dia kabarkan pula kepada mereka bahwa Abu Bashir kini bertahan di pantai.

Atas pemberitahuan itu, berhimpunlah kepada Abu Bashir hampir 70 orang dari kaum muslimin. Mereka tinggal di al-Ish dan melakukan tekanan-tekanan terhadap kaum Quraisy. Tidak seorang pun orang Quraisy yang berhasil mereka tangkap kecuali dibunuhnya dan tidak satu pun kafilah dagang mereka yang lewat kecuali dicegatnya. Pernah ada serombongan kafilah melewati mereka dalam perjalanan menuju Syam dengan membawa 80 ekor unta. Semua itu mereka tangkap dan masing-masing dari mereka memperoleh rampasan senilai 30 dinar. Mereka telah mengangkat Abu Bashir sebagai panglima. Dia pun lalu memimpin mereka melakukan shalat jama'ah, membacakan Qur'an kepada mereka, dan menghimpun kekuatan mereka, sedang mereka pun mendengar dan taat kepadanya.

Tentu saja ulah Abu Bashir itu membuat jengkel dan menyulitkan gerak kaum Quraisy. Karenanya, mereka menulis surat kepada Rasulullah saw., meminta kepada beliau untuk berbaik hati atas nama hubungan silaturrahim agar beliau memasukkan Abu Bashir dan teman-temannya ke pihak beliau. "Karena kami tidak lagi memerlukan mereka", demikian kata orang Quraisy. Rasulullah pun meluluskan permintaan mereka. Beliau menulis surat kepada Abu Bashir supaya datang ke Madinah beserta teman-temannya. Surat beliau sampai kepadanya persis saat dia menghadapi ajal. Dia sempat membacanya lalu meninggal, sedangkan surat Rasulullah saw. itu masih ada dalam genggaman tangannya. Sesudah jenazahnya dikuburkan, teman-temannya datang ke Madinah. Jumlahnya ada 70 orang