1.Ekspedisi Militer Aban Bin Sa’id Ke Najd

Saat Pasukan kaum muslimin menuju ke Khaibar itu artinya di madinah akan berkurang jumlah warganya hal ini bisa di manfaatkan oleh orang – Orang badui yang senantiasa mencari kelemahan Madinah.
Maka rasulullah mengutus Aban bin saad beserta beberapa orang pasukan untuk menakut- nakuti arab badui di Najd  tak berselang lama karena  ketika rasulullah  belum pulang dari khaibar Aban Bin Najd beserta pasukanya telah  kembali ke Madinah , Para sejarawan mengatakan pada Bulan Safar 7 H adalah pengiriman pasukan ini.[1]

2.Perang Dzatul Riqa’ ( Rabiul Awwal 7 H) 

Para Ulama berbeda pendapat tentang tahun terjadinya perang Dzatul Riqa’ kebanyakan Ulama mengatakan jika perang ini terjadi tahun 4 Hijriah namun Hadirnya Abu musa Al anshori dan Abu hurairoh menunjukan jika perang ini terjadi pada tahun 7 H.[2]
Sebab perang dzatul Riqa’ adalah untuk melawan kaum Badui, kaum badui mereka hidup tidak menetap dalam satu wilayah besar seperti Quroisy atau Yahudi Khaibar , mereka berpencar – pencar dalam wilayah – wilayah tertentu mereka orang – orang badui telah menyiapkan kekuatan untuk menyerang wilayah –wilayah di Pinggiran Kota Madinah.
Dinamakan Perang Dzatur Riqa’[3]  Karena pada waktu itu Para Tentara islam yang diutus dengan jumlah 400 orang ke dzatul Riqa telapak kakinya  sampai terkelupas / pecah – pecah lalu di balut dengan sobekan kain ( Riqa’ Artinya sobekan kain ) , karena 400 orang     hanya membawa satu ekor unta dengan berganti- gantian 6 orang menaiki unta.
Sedangkan Yang menjadi PLT atau Wali dimadinah adalah Abu Dzar Al – Ghifari.

Dalam Peperangan Ini Tidak terjadi Konfrontasi antara Kaum muslimin dengan  Gatafan / Badui karena dalam perjalanan tersebut rasulullah bertemu dengan sekolompok orang dari ghatafan mereka melakukan perdamaian namun rasulullah tetap melakukan shalat khauf_ Sholat Khauf dilakukan beliau 2 rakaat bersama sekelompok kaum muslimin lalu kemudian beliau Mundur dan shalat 2 rakaat bersama kelompok lainya, beliau sahalat 4 rakaat dan kaum muslimin shalat 2 rakaat.

dalam perjalanan pulang dari Ghatafan menuju Madinah, terjadi sebuah peristiwa garib (unik). Cerita tentang hal ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dari sahabat Jabir.

Dalam perjalanan pulang menuju Madinah, pasukan Islam istirahat terpisah. Mereka istirahat di teduhnya pepohonan yang ada di sana. Demikian pula Rasulullah, beliau pun ikut berteduh sambil menggantungkan pedangnya di pohon. Kemudian semuanya tidur. Tiba-tiba ada seseorang menghampiri Nabi dan mengambil pedang beliau. Ia todongkan pedang itu di leher beliau. Rasulullah terjaga.

Orang ini hendak membunuh nabi. Jika itu benar-benar terjadi, dijamin ia mendapat kemuliaan di tengah Ghatafan. Tapi Allah menjaga Rasul-Nya. Tak membiarkan hal itu terjadi. Sebagaimana firman-Nya:

وَاللهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
 
“Allah menjaga kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” [Quran Al-Maidah: 67].

Si Badui musyrik ini berkata, “Kau takut denganku?” “Tidak,” jawab Nabi. Beliau tidak berkedip. Sama sekali tak tampak rasa takut sedikit pun. Laki-laki ini merasa takjub. Pedang di tangannya sementara Muhammad tak memiliki sesuatu pun untuk melindungi dirinya. Tapi ia tak tampak rasa takut padanya. “Siapa yang bakal menyelamatkanmu dariku?” gertak orang itu.

Nabi jawab dengan mantap, “Allah.”

Dalam suatu riwayat, laki-laki itu mengulang pertanyaannya sebanyak tiga kali. Dan Rasulullah tetap menjawab “Allah.” (HR. al-Bukhari dalam Kitab al-Jihad wa as-Sair, 2753).
Pedang di tangannya pun terjatuh. Dalam riwayat lain, ia menyarungkan pedang tersebut karena takjub melihat keberanian dan ketenangan Nabi (al-Bukhari dalam Kitab al-Maghazi, 3908). Sedangkan di riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Ishaq rahimahumallah ketika pedang tersebut jatuh, Rasulullah mengambilnya. Setelah itu gantian beliau todongkan dan berkata, “Siapa yang bakal menyelamatkanmu dariku?” Keadaan berbalik.

Laki-laki ini tidak mampu mengatakan Allah. Tidak pula berharap kepada berhala-berhala yang ia sembah. Yang ia harapkan hanya pengampunan Nabi. Ia berkata, “Jadilah pemegang pedang yang baik.” 

“Engkau mau bersyahadat laa ilaaha illallaah dan aku adalah utusan Allah?” sambung Nabi.
“Aku berjanji tidak akan memerangimu dan tidak akan berpihak pada kaum yang memerangimu,” jawab Si Badui menolak untuk memeluk Islam. Rasulullah membebaskannya dan tidak membalas perbuatannya. Ia pun pulang menemui keluarganya dalam keadaan selamat. Ia berkata, “Aku datang menemui kalian dari sisi manusia terbaik.” (HR. Ahmad 14971, 15227).[4]


Nikmatnya Ribath  Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah al-Anshari, dia berkata, 'Kami keluar bersama Rasulullah di perang Dzât ar-Riqâ' dari Nakhl. Salah seorang dari sahabat nabi melukai seorang istri dari kaum musyrikin. Ketika Rasulullah telah kembali ke Madinah, datanglah suami wanita tersebut. Setelah dikabarkan kepadanya apa yang terjadi, ia bersumpah tidak akan kembali hingga bisa menumpahkan darah sahabat-sahabat nabi. Orang itu berjalan menelusuri jejak Rasulullah. Ketika sampai di suatu tempat, Rasulullah singgah di sana dan bersabda, "Siapa yang bersedia berjaga malam ini?" Seorang sahabat Anshar dan seorang sahabat Muhajirin berkata, "Kami siap melakukan penjagaan, wahai Rasulullah." Kemudian beliau bersabda kepada keduanya, "Hendaklah kalian berdua berjaga-jaga di mulut jalan ini!" Ketika keduanya telah berada di mulut jalan, sahabat Anshar itu berkata kepada sahabat Muhajirin, "Kapan engkau lebih senang berjaga, awal malam atau akhir malam?" Sahabat Muhajirin itu menjawab, "Jagalah aku di awal malam!"

Setelah itu ia pun tidur, sementara sahabat Anshar berjaga sambil berdiri mengerjakan shalat. Ketika itu datanglah suami wanita kaum musyrikin tersebut. Melihat kedua orang sahabat Rasulullah, tahulah ia bahwa mereka bertugas mengintai musuh. Ia segera melempar panah hingga mengenai sahabat yang sedang shalat, namun sahabat tersebut mencabutnya dan tetap berdiri tegak. Orang musyrik itu kembali melem-par panah. Namun sahabat Anshar itu mencabutnya dan tetap berdiri kokoh. Orang musyrik itu kembali melempar panah. Sahabat itu menca-butnya lalu ruku', sujud dan membangunkan sahabatnya lalu berkata: "Bangunlah, sungguh aku terluka parah!" Sahabat Muhajirin itu segera bangun, dan ketika keduanya melihat orang musyrik itu, ia segera sadar bahwa keberadaan dirinya telah diketahui lalu ia melarikan diri. Melihat darah mengalir di tubuh sahabatnya, sahabat Muhajirin itu berkata, "Subhânallâh, mengapa engkau tidak membangunkanku saat orang musyrik itu melemparmu dengan panah?" Sahabat Anshar itu menjawab, "Saat itu aku sedang membaca sebuah ayat al-Qur'an, dan aku tidak ingin memotongnya hingga aku menyelesaikan bacaannya. Ketika anak panah terus menerus mengenaiku, aku pun ruku' dan membangunkanmu. Demi Allah, kalaulah bukan karena khawatir melalaikan tugas yang diperintahkan oleh Rasulullah yang harus kulaksanakan, niscaya orang musyrik itu pasti membunuhku sebelum aku menyelesaikan bacaanku."

Peperangan inipun berdampak besar   selain membuat kondisi madinah semakin kondusif dari gangguan External  jika di cermati secara mendalam bahwa kabilah – kabilah dari gatafan bergabung dengan kaum muslimin dalam fathul-makkah, perang hunain dan mendapat ghanimah dari nya ,  ketika beberapa utusan datang untuk mengambil sedekah setelah fathul makkah merekapun memberikanya.

==========================================

[1] Hadist Bukhori Jilid 3 Bab Gzahwah Khaibar
[2] Imam Bukhori adalah salah satu ulama yang sepedapat dengan Tahun ini.
[3] Abu Musa al-Asy’ari tentang perjalanan jauh dan beratnya perjalanan menuju Ghatafan.
خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ فِي غَزْوَةٍ، وَنَحْنُ سِتَّةُ نَفَرٍ، بَيْنَنَا بَعِيرٌ نَعْتَقِبُهُ، فَنَقِبَتْ أَقْدَامُنَا وَنَقِبَتْ قَدَمَايَ وَسَقَطَتْ أَظْفَارِي، وَكُنَّا نَلُفُّ عَلَى أَرْجُلِنَا الْخِرَقَ؛ فَسُمِّيَتْ غَزْوَةَ ذَاتِ الرِّقَاعِ لِمَا كُنَّا نَعْصِبُ مِنَ الْخِرَقِ عَلَى أَرْجُلِنَا
“Kami keluar bersama Nabi dalam suatu peperangan. Enam orang bergantian menaiki satu onta. Kaki-kaki kami terluka. Demikian juga dengan kakiku, hingga kuku-kukunya lepas. Kami balut kaki-kaki kami dengan kain. Karena itulah perang ini dinamai Perang Dzatur Riqa’. Dikarenakan apa yang kami lakukan, (yaitu) membalut kaki-kaki kami dengan kain.” (HR. al-Bukhari, Kitab al-Maghazi Bab Ghazwah Dzatu ar-Riqa’, 3899).


[4] Tentang nama badui  dalam peristiwa tersebut para sahabat berbeda pendapat namun syaikh syafirahman al mubarokfury mengatakan agak nya ada 2 kisah dalam peristiwa yang mirip wallah