Mayoritas ulama mengatakan bahwa perang Ahzab terjadi pada bulan Syawal tahun ke lima Hijriyah.  Adapun penyebab berlangsungnya peperangan ini adalah kedengkian Yahudi Bani Nadhir terhadap kaum Muslimin [1][1] . Pasca kekalahan kaum Muslimin dalam perang Uhud, yang diteruskan dengan pertempuran pertempuran dan manuver militer kecil kecilan selama lebih dari satu tahun, ketenangan dan kedamaian kembali normal. Hanya saja kaum Yahudi yang menerima pelecehan dan kehinaan karena ulah mereka sendiri yang berkhianat, berkonspirasi dan melakukan makar, tidak mau terima begitu saja. Apalagi semakin bertambahnya hari membawa keuntungan bagi kaum Muslimin, dan pamor kekuasaan mereka semakin baik. Hal demikian membuat kaum Yahudi semakin amarah.
Mereka pun kembali merancang konspirasi baru terhadap orang orang Muslim dengan menghimpun pasukan, sebagai persiapan untuk menyerang mereka secara totalitas, hingga tidak tersisa lagi satupun kaum Muslimin.
Bagitu juga dipihak lain kaum Quraisy merasa belum puas dengan apa yang menimpa kaum muslimin pada perang uhud. Mereka belum mampu untuk memusnahkan kaum muslimin secara totalitas. Yang dengan masih adanya kekuatan kaum muslimin di madinah, telah menghambat jalan perdagangan meraka ke Syam . Belum lagi pasca perang uhud pengiriman pasukan kecil-kecilan dari kaum muslimin masih berlanjut. Yang mengancam keberlangsungan perdagangan mereka menuju Syam. Maka merekapun berkeinginan untuk melancarkan serangan kembali kepada kaum muslimin.
Dari pihak yahudi, sekitar dua puluh pemimpin dan pemuka Yahudi Bani Nadhir  mendatangi berbagai kabilah . Orang orang Quraisy, Ghathafan, dan kabilah kabilah lain mereka ajak untuk menyerang kaum Muslimin secara bersamaan. Mereka mangatakan kepada orang Quraisy, Sesungguhnya agama kalian lebih baik dari agama Muhammad dan kalian lebih berhak atasnya  Mereka pun menyambut gembira ajakan tersebut. Maka secara serentak bergabunglah pasukan perang yang terdiri dari Quraisy, Kinanah, Ghathafan dan kabilah-kabilah lainnya, hingga terkumpul jumlah pasukan mencapai sepuluh ribu prajurit. Mereka berkumpul untuk satu tujuan, yaitu menyerang kaum Muslimin yang berada di Madinah.
Maka mulailah mereka semua bergerak menuju kota Madinah. Hingga beberapa hari mereka akhirnya sampai, berkumpul di sekitar madinah, dengan jumlah yang sangat banyak, sepuluh ribu pasukan perang. Yang jika dibandingkan dengan seluruh penduduk Madinah, termasuk wanita, anak anak, pemuda, dan anak anak, maka jumlah mereka masih lebih banyak. [2][2]

Persiapan kaum Muslimin menghadapi peperangan

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendengar berita tentang rencana kaum Kufar yang telah berkumpul untuk menyerang kaum Muslimin, maka beliau segera berkumpul bersama para sahabatnya untuk bermusyawarah. Setelah berdiskusi panjang lebar, mereka sepakat melaksanakan usulan Salman Al Farisy Rodhiyallahu ‘anhu , yaitu untuk menggali parit. Maka mulailah kaum Muslimin bersungguh sungguh menggali parit. Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun ikut terjun ke lapangan menggali parit bersama para sahabatnya.

Beberapa kejadian penting dalam penggalian parit

Penggalian parit bukanlah pekerjaan yang ringan. Apalagi dalam cuaca yang sangat dingin ketika itu. Belum ditambah dengan keterbatasan makanan, hingga dikisahkan bahwa mereka bahkan tidak makan selama tiga hari. Namun begitulah iman, keteguhan iman mereka tidak menjadikan mereka putus asa. Bahkan mereka sangat bersemangat dalam menggali parit, ditambah keikutsertaan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersama mereka. Maka tidak membutuhkan waktu lama selesailah mereka menggali parit.
Ketika kaum Muslimin dalam pekerjaannya menggali parit, banyak terjadi peristiwa yang ajaib. Yang mana ini merupakan tanda kenabian Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Diantaranya adalah apa yang terjadi pada Jabir bin Abdullah Rodhiyallahu ‘anhu. Dia melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang dalam keadaan tersiksa karena rasa lapar yang sangat. Maka dia menyembelih seekor hewan dan istrinya menanak satu sha’ tepung gandum. Setelah masak, Jabir membisiki Rasulullah secara pelan pelan agar datang ke rumahnya bersama beberapa sahabat saja. Tapi beliau justru berdiri dihadapan semua orang yang sedang menggali parit yang berjumlah seribu orang, lalu mereka melahap makanan yang tak seberapa banyak hingga semua kenyang. Bahkan masih ada sisa dagingnya, begitu pula adoanan tepung roti.
Ada yang lebih menakjubkan dari kisah di atas, yaitu apa yang dikisahkan oleh Al Barra Rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Saat menggali parit, dibeberapa tempat kami terhalang oleh tanah yang sangat keras dan tidak bisa digali dengan cangkul. Kami melaporkan hal ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau datang mengambil cangkul dan bersabda, “Bismillah…” Kemudian menghantam yang keras itu dengan sekali hantaman. Beliau bersabda, “Allah maha besar. Aku diberi kunci-kunci Syam. Demi Allah aku benar benar bisa melihat istana istananya yang bercat merah pada saat ini”. Lalu beliau menghantam untuk yang kedua kalinya bagian tanah yang lain. Beliau bersabda lagi, “Allah Maha Besar, aku diberi tanah Persi. Demi Allah saat inipun aku bisa melihat istana Mada’in yang bercat putih”. Kemudian beliau menghantam untuk yang ketiga kalinya, dan bersabda, “Bismillah….”. Maka hancurlah tanah atau batu yang masih menyisa. Kemudian beliau beliau bersabda: “Allah Maha Besar, aku diberi kunci kunci Yaman. Demi Allah, dari tempatku ini aku bisa melihat pintu pintu gerbang Shan’a”.
Itulah diantara peristiwa menakjubkan yang terjadi ketika penggalian parit. Hal ini menunjukan kenabian beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sehingga menambah keyakinan  dan harapan orang orang beriman kepada Allah ta’ala. Berbeda dengan orang orang yang berpenyakit di dalam hatinya, mereka justru mengolok ngolok Rasulullah Shallallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Mereka mengatakan kepada yang lain, “lihatlah apa yang dikatakan oleh Muhammad, dia menjanjikan kepada kalian kunci-kunci Yaman, Istana Madain, dan pintu-pintu gerbang Shan’a, padahal saat ini, menghancurkan satu batu besar saja tidak bisa, sungguh ini adalah penipuan”. Inilah sikap orang Munafik sepanjang zaman terhadap janji Allah.

Bagaimana peperangan berlangsung?

Ketika orang orang musyrik hendak melancarkan serbuan ke arah orang orang Mu’min dan menyerang Madinah, ternyata mereka harus berhadapan dengan parit. Karena itu mereka memutuskan untuk mengepung orang orang Muslim di Madinah. Padahal tatkala keluar dari rumah, mereka tidak siap untuk melakukan pengepungan. Karena mereka sama sekali tidak mengenal siasat perang yang dilakukan oleh kaum Muslimin pada saat itu, dan mereka sama sekali tidak memperhitungkannya.
Akhirnya pasukan Ahzab mendirikan kemah di luar parit. Beberapa kali pasukan berkuda Ahzab berusaha menyeberang parit, namun usaha mereka selalu gagal setelah pasukan Muslimin menghalau mereka dengan hujan anak panah.
Di saat seperti itu, Yahudi bani Quraidhah yang tinggal di Madinah merobek isi perjanjian damai dengan Rasulullah. Tidak hanya itu, mereka juga bersiap-siap melakukan pengkhianatan dan membantu pasukan Ahzab untuk menghabisi kaum Muslimin. Akibatnya, umat Islam menghadapi musuh yang besar di luar dan musuh di dalam.

Akhir peperangan dan kekalahan kaum Musyrikin

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahakan seorang sahabatnya yang baru masuk Islam dari Ghatafan yang bernama Nu’aim bin Mas’ud untuk membuat tipu muslihat diantara kaum kufar. Maka seketika itu juga dia mendatangi Bani Quroidhoh, yang menjadi teman karibnya semasa jahiliyah, dan mendatangi Ghatafan untuk memecah belah mereka.
Rencana ini pun berhasil. Nu’aim mampu memperdayai kedua belah pihak dan menciptakan perpecahan di barisan musuh, sehingga semangat mereka menurun drastis.
Sementara orang orang Muslim selalu berdoa kepada Allah, dan Rasulullah Shalalllahu ‘alaihi wasallam juga berdoa untuk kemalangan musuh:  “Ya Allah yang menurunkan Al Kitab, yang cepat hisab Nya, kalahkanlah pasukan musuh. Ya Allah, kalahkanlah dan goncangkanlah mereka”.
Allah mendengar doa Rosul Nya dan kaum Muslimin. Setelah muncul perpecahan di barisan pasukan Ahzab, dan mereka bisa diperdayai, Allah ta’ala mengirimkan pasukan berupa angin taufan kepada mereka sehingga kemah mereka porak poranda. Allah juga mengirim pasukan yang terdiri dari Malaikat yang membuat mereka menjadi gentar dan kacau, menyusupkan ketakutan di dalam hati mereka.

Al Qur’an berbicara tentang perang Khondak

Allah ta’ala berfirman (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan ni’mat Allah (yang telah dikurniakan) kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kamu melihatnya . Dan adalah Allah Maha Melihat akan apa yang kamu kerjakan” (Qs. Al Ahzab: 9).
Imam As Sa’di Rohimahullah berkata, “Allah ta’ala telah menyebutkan nikmatnya kepada kaum Mu’minin, dan memerintahkan mereka untuk mensyukurinya, yaitu ketika datang kepada mereka para penduduk Makkah dan Hijaz dari atas mereka dan para penduduk Najd dari bawah mereka, mereka bersekongkol dalam menghabisi Rosulullah Shallallalahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabat, yang itu terjadi pada perang Khandak”.
Kemudian disebutkan dalam ayat selanjutnya: “(Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka. Disitulah diuji orang-orang mukmin dan digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang sangat.” (Qs. Al Ahzab: 10-11).
Dalam ayat ini Allah ta’ala menggambarkan ujian dihadapi kaum muslimin ketika itu. Bagaimana ketakutan yang menyelimuti madinah dan kesusahan yang menimpa pendudukanya, tidak ada seorangpun kecuali mereka merasakan ketakutan dan kegelisahan. Pasukan Makkah dan Hijaz datang dari atas mereka, dari bawah yaitu penduduk Najd, dan sekutu sekutu lainnya,  mereka berkumpul dalam tujuan.